21 Mei 2015

PELURU (KUMCER) KARYA JOHAR DWIAJI PUTRA

Kisah-kisah Seorang Perempuan (introducing to Kumpulan Cerpen Peluru)


Aku, kamu, dan kalian. Kita semua pasti lahir dari seorang perempuan. Muncul dari rahim seorang wanita. Wanita yang kemudian kita sebut sebagai ibu. Takkan ada siapapun yang mampu menggantikan sosok seorang ibu. Betul ‘kan?

Kuakui, ibu adalah seseorang yang paling banyak memberiku cerita. Setiap saat, beliau selalu menampilkan kisah tiada henti. Karena itulah, bersyukurlah buat kita semua, yang masih memiliki kesempatan untuk bersama dengan ibu masing-masing. Karena di sekeliling kita, ada banyak rekan atau tetangga, yang tak lagi seberuntung kita. Mereka, tak lagi bisa bermanja-manja ria bersama ibunya. Mereka, tak lagi dapat mendengar omelan ibu, yang kadang memang mampu membuat kuping panas. Tetapi kuping panas itu, tak ada artinya lagi jika ibu sudah tak berada disisi kita.

“Langit perlahan gelap. Segelap diriku yang dirundung duka. Belum lama, Ibu telah berpulang. Masih di pelupuk mata, tatkala aku ikut menggali tanah untuk menutup jasad Ibu di peristirahatannya yang terakhir. Masih terasa di tanganku, bunga-bunga yang kutaburkan di atas pusaranya. Dan masih jelas tertanam di benakku, nama Ibu yang tertulis tegas di nisan itu. BERLIAN.”

Cuplikan di atas adalah potongan dari cerpen berjudul “Berlian”. Satu dari 11 cerpen yang terangkum di dalam buku terbitan Penerbit Ellunar, yang bertajuk PELURU. Berikut adalah beberapa cuplikan dari cerpen lainnya:

“Aku tak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, aku ingin segera beranjak dan menemui Putri. Aku penasaran. Bagaimana dirinya sekarang yang telah menjelma menjadi perempuan dewasa. Tetapi di sisi yang lain, kutangkap sosok Yulia. Perempuan pilihanku. Perempuan yang tak lama lagi akan menyandang predikat Nyonya Yoga Saputro.” (cerpen “Putri Tanjung”)

“Kuambil test pack dari dalam tasku. Ada dua garis yang terpampang disitu. Kuraba-raba perutku. Sekarang, jika aku juga mengandung dan mempunyai keturunan dari Rey, bisakah aku menggantikan sosok Natalina bagi Rey?” (cerpen “Kepastian”)

“Masih jelas dipelupuk mataku. Tiga hari yang lalu, advokat yang tenar itu datang menemuiku. Mengucapkan belasungkawa sambil membawa wartawan sebagai bala kurawanya. Dihadapan banyak kamera, ia berjanji akan membantu biaya pendidikan Mila dan calon adiknya kelak. Aku tersenyum mendengarnya. Semoga ia benar-benar tulus melakukannya.” (cerpen “Lamborghini”)

“Aku terpuruk dalam kamarku yang pengap ini. Lengkap dengan dipan kayu rongsokan yang siap kapan saja rubuh dan hancur bila terkena goncangan yang keras. Lalu tembok yang kusam karena kurang mendapat sinar matahari dan cat yang sudah banyak mengelupas. Tidak lupa jendela sempit beserta korden kumalnya. Ditambah dengan beberapa kondom yang tersimpan rapi di dalam laci sebuah meja berukuran sedang yang kugunakan sebagai tempat tumpukan pakaianku.” (cerpen “Peluru”)

Bagiku, kesebelas cerpen yang terkumpul di dalam Kumpulan Cerpen Peluru ini, bercerita tentang perempuan. Perempuan dengan berbagai kisah dan sudut pandang. Bahwa, wanita mempunyai jalannya masing-masing.

Harga buku ini 36.000, semoga nominal yang tidak terlalu besar bagi Anda semua. Bagi Anda yang ingin membaca kesebelas cerpen tersebut, dapat mengunjungi lamanfacebook "Penerbit Ellunar Official". Atau, langsung SMS ke: 085659314144. Format SMS: nama_PELURU_jumlah buku_alamat lengkap dan kode pos.

Terima kasih dan selamat membaca.......!!!!!!!!

NADA CINTA UNTUK NADA - PART 1

23-02-2012
“Nada Cinta Untuk Nada”
Bismillahirrahmanirrahim...  
‘Semuga menjadi kado terindah untuk wanita penjelma rasa dalam dada.’

The Fist Face
***
Setelah resmi menjadi Mahasiswa baru dengan menjalani berbagai persyaratan administrasi sampai ospek yang super melelahkan dengan kakak-kakak panitia yang sok – matanya yang dipaksakan terbelalak ketika memimpin barisan, teriakan yang melengking keras seperti anjing kelaparan saat menginformasikan waktu untuk berbaris telah dihitung mundur, “SAATU, DUUAA... TIIGAAA...”
“Heh! Kamu sini!”
Kena deh! Hari ini memang hari sialku, pagi tadi saat berangkat dari rumah, si Breem, motor supra kesayanganku kempes. Kali ini panitia berbadan kira-kira 140 centi yang nampak berkuasa dari kakak panitia yang lain ini melotot di depanku sambil melambai-lambaikan tangan.
Nampaknya Ia juga memanggil anggota ospek yang senasib denganku – telat masuk barisan setelah hitungan mundur panitia berambuk cepak dan dekil yang dipanggil bang Roy; Roykene, Royden atau Roymen aku tidak tahu, satu-satunya yang aku tahu dari dia suaranya yang melanglang buana.
“Kenapa lambat?” di depanku dan teman-teman yang senasib, ia mulai bertanya dengan gaya amatirnya yang sangat nampak jika dibuat-buat. Namun, bagaimanapun sikapnya, aku dan yang lain pasti menundukkan kepala. Tidak berani ngomong. Entah kenapa? Serasa mereka telah mengguna-guna kami sehingga kami ikuti semua apa yang ia perintah. Cuma, selalu terbesit dalam dada rasa dongkol yang telah satu tingkat lagi di atas oktaf yang aku punya.
push up adalah langganan setiap anggota ospek yang melanggar peraturan. Dan sadis – ternyata aku yang pertama kali kena sanksi. Hari ini hari sialku, namun semuga tidak sepanjang hari.
***
Hari ini hari pertama aku masuk kuliah setelah gk masuk selama seminggu karena ada kegiatan keluarga yang tidak bisa aku tinggalkan.
Sampai di gerbang kampus. Dadaku bergemuruh seperti suara saat kedua telinga ditutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangan, degup jantungku seakan berdetak tidak seirama seperti bunyi gemuruh Kereta Api kelas ekonomi saat melintas.
Deg! Deg!  Deg! Deg!
Aku bingung harus masuk kelas yang mana, sedang teman kampus dan sekelas pun belum ada yang aku kenal. Kecuali bale, teman TK-ku yang mengidolakan pesepak bola terkenal seantero bumi walaupun nama aslinya iqbal sama baru masuk kampus. Satu-satunya orang yang bisa aku minta pertolongan adalah dia. Setelah memarkir si Breem aku segera menelfonnya.
Bal”, dimana lu
ya ,no
“bal, sekarang gua ada di kampus nih, tapi gua bingung yang mana kelas gua,” ungkapku berapi-rapi sambil menahan perasaan yang semakin gaduh tak menentu.
Lu jadwal udah punya kan?”
“Iya”
“Coba aja liat, disitu kan ada nomer ruangannya”
“Oh, ya, bentar... bentar,” segera aku mengambil lembaran KRS yang berisi jadwal mata kuliahku.
Setalah aku menyebut nomer ruangannya, Iqbal segera memberiku rute menuju ruangan.
“Ruangan itu di lantai dua, pas disamping tangga belok kiri”
“Oke, makasih ya.”
Dengan perasaan ragu-ragu – antara malu dan takut yang menjadi satu adonan getar rasaku, aku menuju ruangan yang dimaksud Iqbal. Mata kuliah untuk jam pertama Basaha Enggris, pelajaran yang menurutku susah-susah gampang, namun menyebalkan. Loh! Karena antara tulisan dan pelafalannya tidak jujur.
Pasti ini ruangannya. Rilihku meyakinkan hati, segera aku duduk di sebuah kursi kosong di paling depan deretan paling kiri, tepatnya di samping seorang berbaju kotak-kotak catur yang nampak lebih tua dariku.
Karena belum ada dosen, aku mencoba bercengkrama dengannya dengan menyorongkan tangan tanda perkenalan, “Nino.” Ungkapku.
“Fajri” singkat.
“Baru juga?” tanyaku.
“Lumayan. Udah semester tiga,”  aku kaget mendengar jawabannya, perasaan salah masuk kelas pun terbesit. “Kamu?”
“Aku semester awal”
Lelaki itu mengerutkan kening. Menatapku heran, mungkin dalam hatinya bertanya-tanya, ngapain masuk kesini? Perasaan salah masuk kelas pun semakin kuat. Lalu, dengan suaranya dan bahasanya yang disusun rapi, mahasiswa berkumis tipis itu memberitahuku bahwa aku salah masuk kelas.
Buju gileee............
Rasa maluku tidak ketolong lagi, untung cowok. Bagaimana kalok tadi aku duduk di samping cewek? Pasti aku tidak tahu bagaimana harus membuang rasa maluku. Tanpa basa-basi lagi, segera aku angkat pantat, tersenyum sebagai ungkapan terimakasih dan berlalu keruangan sebelah seperti yang ia beritahukan, hanya satu kata yang bisa ku ungkapkan, “Apeeeeeesss....”
***
Aku rasa telat. Seorang dosen wanita dengan kaca mata minus bulat, kerudung biru langit, sedang menjelaskan sesuatu. Tanpa dilihatnya, aku masuk dan menarik kursi di samping seorang cewek berkaca mata, berhidung mancung dadu, berpipi tembem seperti roti bakar ibu surti langgananku di pagi hari.
“Maaf.” ungkapku lirih, wanita itu menoleh kepadaku tanpa ekpresi. Dingin.
Disini baru benar... lirih hatiku, sebaris senyum pun lahir dari bibirku. Rasa senang, malu-malu kucing, masih tersisa dalam adonan rasa di hati, namun sangat nampak kalau rasa senang dapat duduk dikursi sekolah tanpa seragam lebih mendominasiku dan satu-satu, rasa yang lain di eleminasi dari panggung hati.
“next!” ucap dosen. Seorang anak berambut hitam dengan kira-kira lima centi dariku  segera menjelaskan apa itu present tense. Penjelasannya lumayan bagus, bahkan bisa dikatakan sempurna. Sedangkan keningku mulai mengeluarkan peluh dingin, bukan karena tidak mungkin bisa menjawabnya, namun penguasaan panggung yang belum aku miliki membuatku gemetar dan takut salah.
“Next!” aku tahu kali ini yang dimaksud perempuan empat puluhan itu adalah aku, namun aku berpura-pura tidak tahu-menahu, sekali lagi dosen berucap, “next,” aku malah menoleh ke kanan dan ke kiri lalu bertanya, “saya bu?”
Yes, please explen about present tense
“Sama seperti yang dijelaskan teman saya barusan bu...” jawabku. Kontan mata seluruh isi ruangan tertuju kepadaku sambil tertawa. Perasaanku yang ingin membuat sensasi pun menjadi pagar makan tanaman, seketika wajahku merah padam. Tapi, satu poin yang aku dapat dari sini, aku yakin semua isi ruangan telah melihatku – manfaatnya,  aku akan lebih mudah berkenalan nantinya. Ini cara jituku.
“keep silent, please!”
Ruangan kembali sunyi, namun masih ada, satu dua mata yang melirikku.
“Ah! Akhirnya” lega rasanya pelajaran ini usai. Seisi ruangan pun beranjak untuk refreshing, mencari angin segar di halaman yang menjadi saksi bagaimana kami mahasiswa baru menjadi bulan-bulanan kakak panitia di masa ospek.
Lumpakan! Kini ceritanya telah berbeda. Kali ini aku adalah salah satu mahasiswa yang telah diakui.
“Bagi yang belum mengisi daftar hadir diharap jangan beranjak dulu!” wanita berkacamata itu suaranya melengking, menghentikan beberapa anak yang telah beranjak. Beberapa anak pun membalikkan tubuhnya dan menuliskan nama di kertas HVS yang disodorkan oleh wanita itu.
Setelah semua usai, kini saatnya aku yang membawa langkah kaki ke hadapannya, “Saya juga belum Bu Ketua.” Bibir wanita itu pun tertarik ke samping, sesungging senyum manis lahir.
“Ibu!” matanya wanita didepanku itu mengembang besar dengan leher terangkat.
Iya, Bu ketua kelas” jawabku. Wanita itu masih terperangah. Mungkin karena mendapat panggilan yang menurutnya tidak pantas.
“Namaku Indah, bukan Bu ketua.”
“O, maaf deh, kalo begitu,” ucapku. “Nama saya Rifqi Gionino” call me nino  lanjutku.
Wanita itu menuliskan namaku di daftar absensi, lalu menarik bolpennya seperti mencari nama seseorang yang ada didaftar itu, sekali terhenti di nama yang ada di deretan nomer tiga dari bawah; Kudri Mustofa.
“Oh, ya, untuk mata kuliah fiqih di jam kedua nanti kamu langsung presentasi, ya!” gemingnya.
What?!” jantungku seakan telah berhenti berdetak mendengar penuturannya yang tak pernah terlintas dalam benak. “Presentasi?” ulangku tidak percaya pada apa yang baru saja di beritahukan oleh Bu Ketua kepadaku.
“Iya, karena kamu masuk di kelompok pertama, nanti saya panggilkan teman sekelompokmu” kali ini, aku tak bisa lagi menyembunyikan rasa takutku. Tegang. Tubuhku panas seperti terkena pancaran api. Keringat sebesar biji jangung mulai mengguyur dahi dan punggungku.
“Siapkan?”
hmmmm dicoba aja.”
Senyum manis bu ketua itu tak terelakkan lagi
Rasa ingin refreshing untuk mencari angin segar di bawah tiga pohon rindang di halaman kampus dan ingin berkenalan dengan teman baru pun hangus seketika. Setelah saling mengenalkan diri dengan kedua teman kelompok, tak ada lain yang aku lakukan kecuali membaca makalah yang telah dibuat oleh mereka berdua. Sedikit kumerasa lega saat memegang makalah itu lantaran bab yang akan kami presentasikan nanti bab pertama dalam ilmulfiqh; babut-atthoharotu Dan untungnya lagi, dulu saat dipesantren aku sempat hafal bab ini ( hehehe hanya judulnya). Yang menjadi permasalah pertama bagiku saat ini adalah bagaimana aku bisa menghilangkan rasa minder dan takut yang ada padaku.
Sholawat aku wiridkan untuk menghilangkan perasaan yang mengancam ketenangan dan keberanianku itu.

***

15 Mei 2015

LOMBA CIPTA PUISI TeraKota (EVEN PERDANA LILIPUT)

Lomba CiptaPuisi TeraKota

Surabaya ajari aku bicara apa adanya
Tanpa harus pandai menjilat, apalagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apalagi memaksa kehendak bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh
(Surabaya AjariAku Tentang Benar, Aming Aminoedin)


Sebuah kota menyimpan arti tersendiri bagi tiap orang yang ada di dalamnya. Mungkin orang-orang tersebut adalah orang yang lahir dan besar di dalamnya, atau bisa jadi hanya sekadar orang yang terdampar dalam waktu tertentu, baik untuk urusan sekolah, pekerjaan, hubungan antar keluarga,dan pelancong yang memburu keindahan dan kenyamanan.  Sebagai bentuk ikatan hati pada kota-kotatersebut, Lingkar Literasi Putih mengadakan Lomba Cipta Puisi TeraKota.

Persyaratan:
·     Lomba Cipta Puisi TeraKota terbuka bagi semua Warga Negara Indonesia, termasuk yang berdomisili di luar negeri, bebas umur, dan gratis.
·     Bergabung di grup LILIPUT(Lingkar Literasi Putih)
·     Puisi merupakan ekspresi penyair tentang sebuah kota yang memiliki keintiman dengan penyair, di mana penyair pernah menjadi bagian di dalam kota tersebut.
·     Naskah puisi harus naskah original dan tidak sedang diikutsertakan pada lomba lain yang bersamaan.
·     Puisi mengandung unsur kebaruan dan memuat perasan emosi hati yang sarat perenungan.
·     Sebarkan info ini minimal kepada 10 teman yang suka menulis (tidak wajib mention tapi wajib share)
·     Setiap peserta maksimal mengirim 2 puisi terbaiknya
.     Tulis biodaata narasi maksimal 100 kata di bawah puisi


Batas Waktu:
Naskah puisi dikirim mulai 5 April 2015 hingga 31 Mei 2015 pukul 07.00 WIB

PengirimanNaskah:
Naskah disimpan dalam bentuk file doc. dan dikirimmelalui email ke: literasiputih@yahoo.co.id
Subjek: TeraKota_Judul Puisi_Nama Peserta

PengumumanPemenang:
Pemenang akan diumumkan pada tanggal 7 Juni 2015

Hadiah:
Puisi Terbaik I : Pulsa 50ribu+ Kumpulan Puisi Tiga Postur Kota Karya Mochammad  Asrori+Novel
Puisi Terbaik II : Pulsa 20ribu+ Novel  remaja terbitan DivaPress (karya Pia Devina)+Buku kumpulan puisi
Puisi Terbaik III: Pulsa 10ribu+ Novel remaja  terbitan Penerbit Anza (karya Dion Sagirang)+Buku kumpulan puisi
Puisi terbaik I-III juga mendapat paket penerbitan frasa 100 ribu di penerbit Pustaka Kata.
Selain tiga puisi terbaik, akan dipilih 50 puisiterbaik yang akan dibukukan oleh Lingkar Literasi Putih.

Keputusan juri tidak bisa diganggu gugat.

Selamat berkreasi dan kembangkan literasi.

Salam

Aris Rahman Yusuf dan Mochammad Asrori (LILIPUT)


puisi 'alif ilahi' - terlalu naif



terlalu naïf

Pada sisa malam yang sendiri di jendela rembulan redup
Aku melihat mata ibu menangis
Menggenangi hamparan sawah dan mengalir kesungai-sungai

Dalam lipatan selimut adik yang lelap
Rindu yang tak kunjung sampai menyudahi deru angin
Yang kencang

Sedang bapak masih tak mampu merubah gaya hidupnya
Berladang hingga malam pucat

Mungkin disini puncak kenaifanku
Yang terlalu dalam menyimpan rindu

#aku mencintai dan merindukanmu

2/
Mumpung masih ada waktu
Aku membiarkan jiwa menelan airmata
Sebab siang esok
Mungkin kenaifan kembali tiba

Jakarta, 16 Mei 2015