21 Mei 2015

NADA CINTA UNTUK NADA - PART 1

23-02-2012
“Nada Cinta Untuk Nada”
Bismillahirrahmanirrahim...  
‘Semuga menjadi kado terindah untuk wanita penjelma rasa dalam dada.’

The Fist Face
***
Setelah resmi menjadi Mahasiswa baru dengan menjalani berbagai persyaratan administrasi sampai ospek yang super melelahkan dengan kakak-kakak panitia yang sok – matanya yang dipaksakan terbelalak ketika memimpin barisan, teriakan yang melengking keras seperti anjing kelaparan saat menginformasikan waktu untuk berbaris telah dihitung mundur, “SAATU, DUUAA... TIIGAAA...”
“Heh! Kamu sini!”
Kena deh! Hari ini memang hari sialku, pagi tadi saat berangkat dari rumah, si Breem, motor supra kesayanganku kempes. Kali ini panitia berbadan kira-kira 140 centi yang nampak berkuasa dari kakak panitia yang lain ini melotot di depanku sambil melambai-lambaikan tangan.
Nampaknya Ia juga memanggil anggota ospek yang senasib denganku – telat masuk barisan setelah hitungan mundur panitia berambuk cepak dan dekil yang dipanggil bang Roy; Roykene, Royden atau Roymen aku tidak tahu, satu-satunya yang aku tahu dari dia suaranya yang melanglang buana.
“Kenapa lambat?” di depanku dan teman-teman yang senasib, ia mulai bertanya dengan gaya amatirnya yang sangat nampak jika dibuat-buat. Namun, bagaimanapun sikapnya, aku dan yang lain pasti menundukkan kepala. Tidak berani ngomong. Entah kenapa? Serasa mereka telah mengguna-guna kami sehingga kami ikuti semua apa yang ia perintah. Cuma, selalu terbesit dalam dada rasa dongkol yang telah satu tingkat lagi di atas oktaf yang aku punya.
push up adalah langganan setiap anggota ospek yang melanggar peraturan. Dan sadis – ternyata aku yang pertama kali kena sanksi. Hari ini hari sialku, namun semuga tidak sepanjang hari.
***
Hari ini hari pertama aku masuk kuliah setelah gk masuk selama seminggu karena ada kegiatan keluarga yang tidak bisa aku tinggalkan.
Sampai di gerbang kampus. Dadaku bergemuruh seperti suara saat kedua telinga ditutup rapat-rapat dengan kedua telapak tangan, degup jantungku seakan berdetak tidak seirama seperti bunyi gemuruh Kereta Api kelas ekonomi saat melintas.
Deg! Deg!  Deg! Deg!
Aku bingung harus masuk kelas yang mana, sedang teman kampus dan sekelas pun belum ada yang aku kenal. Kecuali bale, teman TK-ku yang mengidolakan pesepak bola terkenal seantero bumi walaupun nama aslinya iqbal sama baru masuk kampus. Satu-satunya orang yang bisa aku minta pertolongan adalah dia. Setelah memarkir si Breem aku segera menelfonnya.
Bal”, dimana lu
ya ,no
“bal, sekarang gua ada di kampus nih, tapi gua bingung yang mana kelas gua,” ungkapku berapi-rapi sambil menahan perasaan yang semakin gaduh tak menentu.
Lu jadwal udah punya kan?”
“Iya”
“Coba aja liat, disitu kan ada nomer ruangannya”
“Oh, ya, bentar... bentar,” segera aku mengambil lembaran KRS yang berisi jadwal mata kuliahku.
Setalah aku menyebut nomer ruangannya, Iqbal segera memberiku rute menuju ruangan.
“Ruangan itu di lantai dua, pas disamping tangga belok kiri”
“Oke, makasih ya.”
Dengan perasaan ragu-ragu – antara malu dan takut yang menjadi satu adonan getar rasaku, aku menuju ruangan yang dimaksud Iqbal. Mata kuliah untuk jam pertama Basaha Enggris, pelajaran yang menurutku susah-susah gampang, namun menyebalkan. Loh! Karena antara tulisan dan pelafalannya tidak jujur.
Pasti ini ruangannya. Rilihku meyakinkan hati, segera aku duduk di sebuah kursi kosong di paling depan deretan paling kiri, tepatnya di samping seorang berbaju kotak-kotak catur yang nampak lebih tua dariku.
Karena belum ada dosen, aku mencoba bercengkrama dengannya dengan menyorongkan tangan tanda perkenalan, “Nino.” Ungkapku.
“Fajri” singkat.
“Baru juga?” tanyaku.
“Lumayan. Udah semester tiga,”  aku kaget mendengar jawabannya, perasaan salah masuk kelas pun terbesit. “Kamu?”
“Aku semester awal”
Lelaki itu mengerutkan kening. Menatapku heran, mungkin dalam hatinya bertanya-tanya, ngapain masuk kesini? Perasaan salah masuk kelas pun semakin kuat. Lalu, dengan suaranya dan bahasanya yang disusun rapi, mahasiswa berkumis tipis itu memberitahuku bahwa aku salah masuk kelas.
Buju gileee............
Rasa maluku tidak ketolong lagi, untung cowok. Bagaimana kalok tadi aku duduk di samping cewek? Pasti aku tidak tahu bagaimana harus membuang rasa maluku. Tanpa basa-basi lagi, segera aku angkat pantat, tersenyum sebagai ungkapan terimakasih dan berlalu keruangan sebelah seperti yang ia beritahukan, hanya satu kata yang bisa ku ungkapkan, “Apeeeeeesss....”
***
Aku rasa telat. Seorang dosen wanita dengan kaca mata minus bulat, kerudung biru langit, sedang menjelaskan sesuatu. Tanpa dilihatnya, aku masuk dan menarik kursi di samping seorang cewek berkaca mata, berhidung mancung dadu, berpipi tembem seperti roti bakar ibu surti langgananku di pagi hari.
“Maaf.” ungkapku lirih, wanita itu menoleh kepadaku tanpa ekpresi. Dingin.
Disini baru benar... lirih hatiku, sebaris senyum pun lahir dari bibirku. Rasa senang, malu-malu kucing, masih tersisa dalam adonan rasa di hati, namun sangat nampak kalau rasa senang dapat duduk dikursi sekolah tanpa seragam lebih mendominasiku dan satu-satu, rasa yang lain di eleminasi dari panggung hati.
“next!” ucap dosen. Seorang anak berambut hitam dengan kira-kira lima centi dariku  segera menjelaskan apa itu present tense. Penjelasannya lumayan bagus, bahkan bisa dikatakan sempurna. Sedangkan keningku mulai mengeluarkan peluh dingin, bukan karena tidak mungkin bisa menjawabnya, namun penguasaan panggung yang belum aku miliki membuatku gemetar dan takut salah.
“Next!” aku tahu kali ini yang dimaksud perempuan empat puluhan itu adalah aku, namun aku berpura-pura tidak tahu-menahu, sekali lagi dosen berucap, “next,” aku malah menoleh ke kanan dan ke kiri lalu bertanya, “saya bu?”
Yes, please explen about present tense
“Sama seperti yang dijelaskan teman saya barusan bu...” jawabku. Kontan mata seluruh isi ruangan tertuju kepadaku sambil tertawa. Perasaanku yang ingin membuat sensasi pun menjadi pagar makan tanaman, seketika wajahku merah padam. Tapi, satu poin yang aku dapat dari sini, aku yakin semua isi ruangan telah melihatku – manfaatnya,  aku akan lebih mudah berkenalan nantinya. Ini cara jituku.
“keep silent, please!”
Ruangan kembali sunyi, namun masih ada, satu dua mata yang melirikku.
“Ah! Akhirnya” lega rasanya pelajaran ini usai. Seisi ruangan pun beranjak untuk refreshing, mencari angin segar di halaman yang menjadi saksi bagaimana kami mahasiswa baru menjadi bulan-bulanan kakak panitia di masa ospek.
Lumpakan! Kini ceritanya telah berbeda. Kali ini aku adalah salah satu mahasiswa yang telah diakui.
“Bagi yang belum mengisi daftar hadir diharap jangan beranjak dulu!” wanita berkacamata itu suaranya melengking, menghentikan beberapa anak yang telah beranjak. Beberapa anak pun membalikkan tubuhnya dan menuliskan nama di kertas HVS yang disodorkan oleh wanita itu.
Setelah semua usai, kini saatnya aku yang membawa langkah kaki ke hadapannya, “Saya juga belum Bu Ketua.” Bibir wanita itu pun tertarik ke samping, sesungging senyum manis lahir.
“Ibu!” matanya wanita didepanku itu mengembang besar dengan leher terangkat.
Iya, Bu ketua kelas” jawabku. Wanita itu masih terperangah. Mungkin karena mendapat panggilan yang menurutnya tidak pantas.
“Namaku Indah, bukan Bu ketua.”
“O, maaf deh, kalo begitu,” ucapku. “Nama saya Rifqi Gionino” call me nino  lanjutku.
Wanita itu menuliskan namaku di daftar absensi, lalu menarik bolpennya seperti mencari nama seseorang yang ada didaftar itu, sekali terhenti di nama yang ada di deretan nomer tiga dari bawah; Kudri Mustofa.
“Oh, ya, untuk mata kuliah fiqih di jam kedua nanti kamu langsung presentasi, ya!” gemingnya.
What?!” jantungku seakan telah berhenti berdetak mendengar penuturannya yang tak pernah terlintas dalam benak. “Presentasi?” ulangku tidak percaya pada apa yang baru saja di beritahukan oleh Bu Ketua kepadaku.
“Iya, karena kamu masuk di kelompok pertama, nanti saya panggilkan teman sekelompokmu” kali ini, aku tak bisa lagi menyembunyikan rasa takutku. Tegang. Tubuhku panas seperti terkena pancaran api. Keringat sebesar biji jangung mulai mengguyur dahi dan punggungku.
“Siapkan?”
hmmmm dicoba aja.”
Senyum manis bu ketua itu tak terelakkan lagi
Rasa ingin refreshing untuk mencari angin segar di bawah tiga pohon rindang di halaman kampus dan ingin berkenalan dengan teman baru pun hangus seketika. Setelah saling mengenalkan diri dengan kedua teman kelompok, tak ada lain yang aku lakukan kecuali membaca makalah yang telah dibuat oleh mereka berdua. Sedikit kumerasa lega saat memegang makalah itu lantaran bab yang akan kami presentasikan nanti bab pertama dalam ilmulfiqh; babut-atthoharotu Dan untungnya lagi, dulu saat dipesantren aku sempat hafal bab ini ( hehehe hanya judulnya). Yang menjadi permasalah pertama bagiku saat ini adalah bagaimana aku bisa menghilangkan rasa minder dan takut yang ada padaku.
Sholawat aku wiridkan untuk menghilangkan perasaan yang mengancam ketenangan dan keberanianku itu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar