13 Mei 2012

Menulis Dengan Kemurnian Hati


Oleh: Aa_kaslan

Wah! Malam ini aku benar-benar tidak bisa memfungsikan otak dengan benar. Lihat saja, sedari tadi belum bisa konsentrasi dan beberapa paragraf tulisan yang utuh kembali  di-delete.
Aku super bingung. Karena sebuah pertanyaan yang selama ini belum pernah menyapa, malam ini tiba-tiba datang tanpa diundang.
 “Apakah menulis bukan bakatku?”
Jika hal ini juga terjadi kepadamu (writers), apa yang akan kamu jawabkan? Bertanya balik seperti ini, “kenapa kamu bertanya demikian?” kepada hati? Atau ....
Ah, sungguh aku bingung mau menjawab apa pertanyaan itu. Tiba-tiba saja aku terkena Virus Pesimis yang teramat sadis. Bahkan menurutku lebih sadis dari pada HIV dan AIDS yang dapat mematikan.
Bayangkan. Hanya karena virus bernama Pesimis itu aku mati kutu. Otakku terasa mendidih memikirkan jawaban yang pas. Kepenatan rasa pun mendalangi hidup. Semua yang aku rasakan dan lakukan menjadi hampa – super hampa malah.
Awalnya, aku sedikit lega dengan membiarkan virus itu menjalar ke semua urat nadi dengan perasaan tenang, karena mungkin virus itu hanya bercanda saja, dan esok setelah bangun tidur telah lenyap dan tidak akan kembali lagi.
Namun, bagaimana jika virus itu telah menjadi daging? Oh, No! Mimpiku masih banyak sekali yang belum tercapai – termasuk menyelesaikan novel yang tadi sempat beberapa kali aku tulis-hapus, tulis-hapus karena virus yang super double ganas itu.
Satu jam full aku diam seperti orang tolol. Hanya mendengarkan lagu dan menghabiskan beberpa batang rokok. Sadis!.
J J J
DAAAR!
Tiba-tiba sebuah kalimat dari teman lama seperti glegar guntur menamparku kembali seperti yang terjadi tiga tahun silam. “Menulis itu adalah kemurnian hati, bukan hanya berasal dari nafsu dan egois tinggi, tinggalkan dulu berbagai kecurang hidupmu. Biarkan Allah yang mengaturnya. Rizqi telah diaturNya, tidak mungkin salah orang. Menulislah dengan kemurnian hati. Maka yang membaca pun akan membaca dengan hati.”
 Ya, mungkin virus itu mampu menembus benteng kemurnian menulisku karena ribuan bayang yang lebih dulu terbayang: tentang ke-famousan, honor tinggi, dan segera rampung. O, betapa selama ini aku berhianat pada diri sendiri dan Tuhan.
Seharusnya aku memang harus demikian, menulis dengan ‘kemurnian hati’ – baca ulang kembali dengan pelan – ke-mur-nian ha-ti – tanam dalam hati, ikat yang kuat agar tidak kembali lepas.
Dan, ayo mulai menulis lagi.
“Bismillahirrohmanirrohim....”
Jakarta, 13052012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar