Oleh: Aa_kaslan
Wah! Malam ini aku benar-benar tidak bisa memfungsikan otak dengan
benar. Lihat saja, sedari tadi belum bisa konsentrasi dan beberapa paragraf
tulisan yang utuh kembali di-delete.
Aku super bingung. Karena sebuah pertanyaan yang selama ini belum
pernah menyapa, malam ini tiba-tiba datang tanpa diundang.
“Apakah menulis bukan
bakatku?”
Jika hal ini juga terjadi kepadamu (writers), apa yang akan
kamu jawabkan? Bertanya balik seperti ini, “kenapa kamu bertanya demikian?”
kepada hati? Atau ....
Ah, sungguh aku bingung mau menjawab apa pertanyaan itu. Tiba-tiba
saja aku terkena Virus Pesimis yang teramat sadis. Bahkan menurutku
lebih sadis dari pada HIV dan AIDS yang dapat mematikan.
Bayangkan. Hanya karena virus bernama Pesimis itu aku mati
kutu. Otakku terasa mendidih memikirkan jawaban yang pas. Kepenatan rasa pun
mendalangi hidup. Semua yang aku rasakan dan lakukan menjadi hampa – super hampa
malah.
Awalnya, aku sedikit lega dengan membiarkan virus itu menjalar ke
semua urat nadi dengan perasaan tenang, karena mungkin virus itu hanya bercanda
saja, dan esok setelah bangun tidur telah lenyap dan tidak akan kembali lagi.
Namun, bagaimana jika virus itu telah menjadi daging? Oh, No! Mimpiku
masih banyak sekali yang belum tercapai – termasuk menyelesaikan novel yang tadi
sempat beberapa kali aku tulis-hapus, tulis-hapus karena virus yang super double
ganas itu.
Satu jam full aku diam seperti orang tolol. Hanya mendengarkan
lagu dan menghabiskan beberpa batang rokok. Sadis!.
J J J
DAAAR!
Tiba-tiba sebuah kalimat dari teman lama seperti glegar guntur
menamparku kembali seperti yang terjadi tiga tahun silam. “Menulis itu adalah
kemurnian hati, bukan hanya berasal dari nafsu dan egois tinggi, tinggalkan
dulu berbagai kecurang hidupmu. Biarkan Allah yang mengaturnya. Rizqi telah
diaturNya, tidak mungkin salah orang. Menulislah dengan kemurnian hati. Maka yang
membaca pun akan membaca dengan hati.”
Ya, mungkin virus itu mampu
menembus benteng kemurnian menulisku karena ribuan bayang yang lebih dulu
terbayang: tentang ke-famousan, honor tinggi, dan segera rampung. O,
betapa selama ini aku berhianat pada diri sendiri dan Tuhan.
Seharusnya aku memang harus demikian, menulis dengan ‘kemurnian
hati’ – baca ulang kembali dengan pelan – ke-mur-nian ha-ti – tanam dalam
hati, ikat yang kuat agar tidak kembali lepas.
Dan, ayo mulai menulis lagi.
“Bismillahirrohmanirrohim....”
Jakarta, 13052012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar